Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum (2)

Di dalam sistem penyelenggaraan pendidikan terdapat subjek atau pelaku pendidikan yaitu peserta didik. Siswa adalah subjek yang melaksanakan proses pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan dengan cara belajar mandiri (CBSA). Model pembelajaran CBSA sendiri pada beberapa dasawarsa yang lalu pernah diuji cobakan dan diterapkan sebagai kurikulum pendidikan nasional.

Dalam implementasi sistem ini, siswa mengetahui tujuan dan guru berperan sebagai fasilitator pembelajaran. Hal yang perlu mendapatkan perhatian antara lain adalah ukuran kelas, siswa homogen dalam usia, budaya, lingkungan, syarat administratif, dsb.

Sistem penyelenggaran pendidikan sudah semestinya memiliki tujuan yang jelas, definitif, terencana dan terarah. Adapun secara umum penyelenggaraan pendidikan bertujuan guna membentuk dan mengarahkan peserta didik menjadi manusia yang memiliki kepribadian harmonis sebagaimana telah diuraikan pada bagian pertama dari tulisan ini.

Secara teknis syarat tujuan penyelenggaraan pendidikan yang baik antara lain adalah:

  1. Operasional, artinya dapat diukur tingkat keberhasilannya, tujuan jelas, kurikulum tepat untuk mencapai tujuan pendidikan, dan tujuan sesuai dengan kebutuhan pembelajaran peserta didik.
  2. Tujuan pendidikan dapat dikomunikasikan sebelum pembelajaran dan siswa memahami tujuan tersebut.
  3. Tersedia alat ukur untuk mengukur pencapaian tujuan dan dapat dibuat dengan mudah.

Pengembangan kurikulum dapat dianalogikan dengan jarak yang ditempuh oleh kendaraan, yakni sama dengan target yang akan dicapai oleh penyelenggaraan pendidikan yang dapat dijabarkan dalam poin-poin sebagai berikut :

  1. Target berupa kurikulum tiap satuan pendidikan.
  2. Target yang akan dicapai dijabarkan dalam silabi/GBPP dan berbagai media lainnya.
  3. Untuk mencapai target perlu dikembangkan rencana pelaksanaan program pembelajaran.
  4. Penjabaran tujuan/kompetensi dalam indikator yang jelas dan sesuai.
  5. Strategi/pendekatan/model/metode dan teknik sesuai dengan karakteristik materi dan siswa.

Analogi  hambatan di jalan yang ditemui oleh kendaraan dalam konteks pengembangan kurikulum adalah sama dengan constraint/kendala/problem penyelenggaraan pendidikan yang ditemui di lapangan antara lain sebagai berikut:

  1. Hambatan di jalan, sopir sakit, lesu, kendaraan rusak,perbekalan habis, jalan rusak, rambu tak tersedia, dan sebagainya.
  2. Constraint, terkait dengan physical constraint misalnya tak ada laboratorium, perpustakaan, ruang kelas, pembiayaan sarana terbatas, bantuan masyarakat tak ada, semangat kerja guru rendah, tenaga guru bukan bidang keahlian yang sesuai, tak ada buku petunjuk, harapan sulit diwujudkan dan sebagainya.

Sementara itu, analogi  bengkel untuk memperbaiki kendaraan dalam konteks pengembangan kurikulum adalah sama dengan lembaga pengembang kurikulum. Lembaga pengembang kurikulum memiliki tenaga profesional, implementasi uji coba perlu didasarkan pada tahapan yang benar, kesulitan penerapan di lapangan perlu mendapatkan tanggapan yang wajar, diagnostik kesulitan belajar perlu dikembangkan dan diimplementasikan secara cermat dan tepat, revisi kurikulum sesuai dengan perkembangan budaya, masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dan kecenderungan pembelajaran yang maju.

Referensi:

Rangkuman materi kuliah Pengembangan dan Evaluasi Kurikulum Fisika (PEKF). Dosen pengampu Prof. Suparwoto.

Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum (1)

Manusia secara alamiah dibekali dengan delapan (8) potensi yang ada dalam dirinya yaitu :

  1. Ketuhanan – heaven
  2. Kepandaian – head
  3. Keindahan – heart
  4. Kejujuran dan kesusilaan- honest
  5. Kemasyarakatan- human relation
  6. Kepribadian – himself
  7. Kesehatan – health
  8. Keterampilan/keprigelan –hand

Manusia disebut memiliki karakter pribadi yang harmonis, apabila mampu mendaya gunakan kedelapan potensi tersebut di atas secara optimal dan seimbang.

Guna membentuk sumberdaya manusia agar memiliki kepribadian yang harmonis sehingga dapat memunculkan seluruh potensi yang ada dalam diri seseorang, maka salah satu cara yang dapat ditempuh adalah melalui jalur pendidikan. Ke delapan potensi alamiah tersebut lalu dikembangkan secara dinamis melalui jalur pendidikan sekolah (formal) dengan memperhatikan perkembangan:

  1. lingkungan masyarakat
  2. lingkungan fisik
  3. perkembangan IPTEK

Perkembangan kepribadian manusia yang kurang sempurna, yakni hanya sebagian potensi yang berkembang atau ditonjolkan, akan menyebabkan munculnya kepribadian yang kurang harmonis dengan ciri-ciri sebagai berikut:

  1. intelektualistis – terlalu menonjol cipta/daya pikir, logika, rasio
  2. emosionalistis – terlalu menonjol emosi, rasa, kepekaan batin
  3. voluntaristis – terlalu berkehendak, berkeinginan, karsa
  4. altruistis – terlalu menonjol sifat sosial, kebutuhan untuk bersosialisasi
  5. egoistis –  terlalu menonjol sifat individualisme
  6. animalistis – terlalu menonjol dalam memelihara fisik/raga
  7. dogmatis –  terlalu dogmatis, fanatis dalam berketuhanan/beragama
  8. impultis –  terlalu mengutamakan keterampilan/keahlian fisik semata

Untuk mencetak generasi unggul dan berkualitas yang memiliki kepribadian harmonis, dimana ke delapan potensi alamiah manusia dapat tumbuh secara dinamis dan seoptimal mungkin, maka kurikulum sebagai “jantungnya pendidikan” kemudian dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip dasar sebagai berikut:

  1. Dinamis – sasaran peningkatan kualitas, potensi, kecerdasan dan minat.
  2. Fleksibel – sesuai dengan tuntutan dunia kerja, pembangunan, dan kemajuan iptek
  3. Visioner- menuju ke masa depan yang memuat life skill. 
  4. Kurikulum dapat dijabarkan ke dalam silabus yang relevan, sistematis, konsisten, memadai, aktual, kontekstual, dan menyeluruh.

Kurikulum dipandang sebagai alat guna mencapai tujuan pendidikan. Kurikulum dapat diibaratkan sebagai alat angkut untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Karena menggunakan istilah alat angkut/ kendaraan maka harus ada sopir/guru, penumpang/siswa, dan tujuan yakni tempat yang dituju/tujuan pendidikan, jarak tempuh sebagai target kurikulum, hambatan di perjalanan sebagai pembatas/constraint, bengkel sebagai sarana pemeliharaan dan pengembangan alat angkut/lembaga perencanaan kurikulum. Kita dapat membuat analogi sistem penyelenggaraan pendidikan yaitu : kurikulum dan tenaga pengajar (guru) dianalogikan sebagai alat angkut dan sopirnya sebagai berikut:

  1. Alat angkut/kendaraan merupakan sarana menuju suatu tempat dengan berbagai komponennya bekerja secara sistemik dan sinergis.  Kurikulum adalah alat untuk mencapai tujuan pendidikan. Komponen kurikulum terdiri dari komponen pokok dan penunjang.Pertimbangan sebelum menggunakan kendaraan antara lain :  Telah diujicoba, kesesuaian antara jenis kendaraan dengan jarak dan muatan, komponen utama telah siap, misalnya : bensin, ban, dan sebagainya. Adapun pertimbangan sebelum menggunakan kurikulum antara lain : telah diujicoba, kesesuaian tujuan dengan isi dan sarana yang tersedia, kesiapan bahan, metode, sarana, prasarana, guru dan sebagainya.
  2. Sopir adalah petugas yang menjalankan kendaraan yang telah dibekali keterampilan mengemudikan kendaraan, bertanggung jawab dan santun dalam berbicara dan bertindak. Syarat seorang sopir di antaranya memiliki SIM, dewasa, terampil dan sebagainya, mengetahui seluk beluk mesin dan mampu memperbaiki/merawat  dan beradaptasi terhadap kendaraan. Guru adalah seorang yang bertugas mendidik, mengajar, melatih atas dasar keahlian, tanggung jawab dan kesejawatan. Syarat guru yang baik adalah profesional, memiliki keahlian, tanggung jawab dan mampu mengembangkan aspek kesejawatan. Memiliki sertifikat mendidik, menguasai dan mampu memanfaatkan semua komponen kurikulum untuk memberdayakan siswa.

Adapun profesi guru sebagai driver penyelenggaraan pendidikan, diharuskan sekurang-kurangnya memiliki dua kemampuan utama sebagai berikut :

  1. Berpikir abstrak : kreatif, efektif, efisien, terampil, komunikatif, dsb. Sebagai komponen (A).
  2. Komitmen :  sikap peduli pada tugas pokok; yang diwujudkan dalam partisipasi aktif dalam tugas/layanan profesional, bertanggung jawab, kolaboratif, kooperatif, dsb. Sebagai komponen (K).

Dengan mengkombinasikan silang antara kelebihan dan kekurangan seorang guru terhadap dua komponen kemampuan di atas, dapat dibuat kategori/tipe guru sebanyak empat (4) macam yaitu sebagai berikut:

  1. A +    dan   K +  :  guru terbaik, guru profesional.
  2. A +    dan   K –  :  guru suka mengkritik. Guru seperti ini disebut: JARKONI (iso ujar ora iso nglakoni), suka berteori namun tidak sanggup melaksanakan.
  3. A –     dan  K +  :  guru suka beralasan sibuk, enggan berpikir kritis, menolak bila menghadapi tugas, tidak menyukai terobosan, eksperimen, atau inovasi baru.
  4. A –    dan   K –  : guru acuh tak acuh dengan tugas pokoknya. Guru yang tidak mengerti dengan tugas dan fungsinya.

Keterangan:

  • A : berpikir abstrak
  • K : komitmen/kepedulian
  • + : Menonjol
  • – : Kurang

 

Referensi:

Rangkuman materi kuliah Pengembangan dan Evaluasi Kurikulum Fisika (PEKF). Dosen pengampu Prof. Suparwoto.

Tanya-Jawab Supervisi Pendidikan (3)

T : Apabila supervisi kolaborasi ini dapat dilaksanakan, apakah pembinaan sebagai tindak lanjut supervisi juga dapat dilaksanakan secara berkolaborasi?

J : Para guru perlu mendapatkan pembinaan guna meningkatkan profesionalisme di lingkungan kerja. Pembinaan adalah salah satu tindak lanjut nyata dari supervisi. Perlunya pembinaan secara berkelanjutan didasari kenyataan bahwa perkembangan profesi guru apabila dibandingkan dengan perkembangan ilmu dan teknologi belumlah berimbang. Perkembangan ilmu dan teknologi di bidang pendidikan dipandang lebih cepat dibandingkan dengan perkembangan profesi yang dimiliki oleh guru pada umumnya.

Sebagai langkah antisipasi agar perkembangan profesi guru tidak jauh tertinggal oleh pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka salah satu cara yang dapat ditempuh oleh supervisor adalah dengan menyelenggarakan kegiatan pembinaan. Sebagaimana halnya supervisi, pembinaan diupayakan agar dapat dilaksanakan secara kolaboratif dengan melibatkan pengawas dan kepala sekolah.

Teknis pelaksanaan kegiatan pembinaan akan lebih mudah dimana guru pada tahap sebelumnya telah memperoleh supervisi secara intensif. Langkah yang ditempuh supervisor selanjutnya adalah menindak lanjuti dan memanfaatkan hasil-hasil supervisi yang sudah ada dan dijadikan sebagai pedoman guna menentukan arah dan strategi pembinaan.

Pembinaan merupakan follow up nyata dari kegiatan supervisi yang dilaksanakan setelah berakhirnya tahapan supervisi. Kegiatan pembinaan memerlukan waktu yang cukup lama, berbeda dengan supervisi yang bersifat temporer. Pada prinsipnya kegiatan pembinaan terintegrasi dan melekat dalam setiap tugas pokok penyelenggaraan pendidikan. Untuk itu kepala sekolah sebagai gugus terdepan di lingkungan sekolah diharapkan dapat lebih berperan aktif dalam mengoptimalkan kegiatan pembinaan di tempat tugasnya masing-masing.

Pengawas (supervisor) yang berasal dari luar sekolah tidak dapat setiap saat mendampingi aktivitas guru di kelas. Pengawas juga tidak mungkin melakukan supervisi di satu sekolah saja, mengingat pengawas memiliki tanggung jawab melaksanakan supervisi di sekolah yang lain. Pembinaan kolaboratif bersifat jangka panjang dan terbatas di lingkungan kerja masing-masing, sehingga tugas dan keterlibatan pengawas cukup melaksanakan pembinaan secara berkala. Meski demikian seorang pengawas dituntut untuk selalu siap sedia apabila dimintai bantuan oleh satuan pendidikan.

Pembinaan kolaboratif antara kepala sekolah dan pengawas dapat dilaksanakan secara konsultatif. Berbagai kendala yang ditemui di lapangan kemudian dikonsultasikan alternatif solusi dan pemecahan masalah yang dihadapi secara bersama-sama. Selanjutnya supervisor dapat memberikan kontribusinya dalam berbagai cara guna membantu memberikan pelayanan kepada guru. Kepala Sekolah diharapkan dapat menjaga hubungan profesional dengan pengawas. Hal tersebut dirasa penting, mengingat peran pengawas masih tetap diperlukan meskipun tidak seintensif seperti pada tahap supervisi sebelumnya.

Ada tiga aspek pembinaan guru yaitu pengembangan pribadi, kompetensi dan sosial. Pembinaan terhadap guru dapat dilakukan secara preventif dan kuratif. Secara preventif dengan cara menciptakan hubungan personal yang akrab, harmonis dan bersahabat. Juga dilakukan dengan cara membantu dan membimbing para guru untuk dapat menciptakan kondisi belajar dan proses belajar yang baru dan efektif.

Dalam pelaksanaan kegiatan pembinaan di satuan pendidikan, peran kepala sekolah hendaknya dapat lebih diberdayakan. Hal ini mengingat tugas, kewenangan dan tanggung jawabnya sebagai salah satu unsur penting di dalam sistem sekolah. Diantara peran yang dapat dioptimalkan antara lain adalah meningkatkan hubungan personal dengan para guru yang sudah terjalin dengan akrab, mendorong munculnya kepribadian guru yang berkarakter dalam mengemban tugas, dan menjaga interaksi sosial yang harmonis antar seluruh komponen satuan pendidikan.

Dalam rangka meningkatkan kinerja dan profesionalisme guru, pengawas memberikan bantuan dan layanan teknis yang spesifik kepada guru. Di sisi lain, efektifitas model pembelajaran sebagai hasil pembinaan yang mencakup peningkatan profesionalisme tenaga pendidik memerlukan waktu yang tidak pendek, hingga pada akhirnya terwujud sebuah metode pembelajaran yang interaktif dan menyenangkan siswa.

Pembinaan kuratif pada dasarnya adalah memperbaiki hal-hal yang kurang menarik yang terjadi pada guru. Dengan memperhatikan dan menganalisis berbagai hasil temuan supervisi, selanjutnya dapat diidentifikasi kelemahan dan kekurangan yang ada pada guru. Kelemahan tersebut dapat berasal dari faktor internal maupun eksternal. Dengan memahami hal tersebut, kita akan mengerti bahwa sumber permasalahan sesungguhnya tidak hanya terletak pada personal guru saja namun saling terkait dengan penyebab yang lain.

Kelemahan yang ada bukan diskenariokan sebagai temuan untuk menyudutkan atau mendiskreditkan guru, namun dijadikan sebagai masukan dan bahan evaluasi demi perbaikan di masa mendatang. kelemahan-kelemahan tersebut hendaknya tidak diekspos secara vulgar/terang-terangan di depan guru karena justru akan menimbulkan kesan negatif. Sebaliknya penyampaian sisi kelemahan yang ada pada guru dapat diberikan dalam bentuk dorongan moral yang konstruktif yang akan meningkatkan motivasi dan kepercayaan diri mereka.

Tanya-Jawab Supervisi Pendidikan (2)

T : Apabila supervisi kolaborasi sudah menjadi keputusan bersama antara pengawas dan kepala sekolah dan akan dicoba dilaksanakan, apakah para guru bersedia untuk disupervisi oleh pengawas dan kepala sekolah secara bersama-sama?

J : Pada umumnya sikap para guru menyatakan kesiapan dan kesediaannya untuk disupervisi secara bersama-sama oleh pengawas dan kepala sekolah. Hal tersebut didasari kenyataan bahwa supervisi itu sendiri pada dasarnya sangat dibutuhkan oleh guru guna menunjang peningkatan profesionalisme mereka dalam melaksanakan aktivitas pembelajaran.

Dimuka telah diuraikan bahwa supervisi merupakan salah satu sarana guna meningkatkan profesionalisme guru. Dalam kaitannya dengan upaya peningkatan profesionalisme guru, memerlukan adanya standarisasi guru profesional yang terdiri atas:

1) kualifikasi akademik: yaitu ijazah jenjang pendidikan/akademik yang harus dimiliki oleh guru atau dosen sesuai dengan jenis, jenjang, dan satuan pendidikan formal di tempat penugasan. Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat dari perguruan tinggi terakreditasi.

2) Kompetensi: adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan yang meliputi kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial. Kompetensi telah menjadi tuntutan profesionalisme, karena dengan memiliki kompetensi, khususnya dalam penguasaan materi dan metode pembelajaran akan sangat mendukung setiap aktivitas pembelajaran dan transfer pengetahuan.

3) Sertifikasi: adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru profesional, dimana sertifikat pendidik adalah bukti formal pengakuan yang diberikan kepada guru sebagai tenaga profesional dan telah memenuhi persyaratan. Sertifikasi dimaksudkan guna mengukur dan menilai tingkat profesionalisme dan kompetensi tenaga pengajar. Sertifikasi adalah bukti legal formal bahwa guru yang bersangkutan telah memiliki kriteria, kapasitas, dan kapabilitas yang memadai untuk melaksanakan tugasnya sehari-hari.

Strategi supervisi kolaboratif melibatkan pengawas dan kepala sekolah secara bersama-sama melakukan supervisi terhadap guru. Tidak seperti supervisi klinis yang diberikan oleh kepala sekolah secara mandiri, dalam pelaksanaan supervisi kolaboratif, pengawas terlibat secara aktif, mengambil peran yang signifikan dalam berbagai kesempatan pelaksanaan supervisi.

Dari sudut pandang supervisi kolaboratif, supervisi yang dilaksanakan oleh pengawas dan kepala sekolah bertujuan guna memberikan bantuan teknis dan layanan supervisi yang lebih spesifik, intensif dan sesuai kebutuhan guru. Kerjasama antara kedua belah pihak diharapkan dapat menghasilkan sinergi dan pola kerjasama yang kuat dalam menjalankan setiap tugas supervisi guna memecahkan setiap persoalan yang dihadapi.

Sosok Kepala Sekolah secara personal dan institusional dipandang memiliki kedekatan khusus dengan para guru. Kepala Sekolah diposisikan sebagai yang “dituakan” oleh para guru. Dengan kewenangan yang dimiliki oleh Kepala Sekolah diharapkan secara mandiri melaksanakan supervisi klinis intensif termasuk di dalamnya membina kedekatan dengan para guru. Di sisi lain, pengawas sebagai pihak dari luar sekolah dapat melakukan kerjasama dengan cara diseminasi keterampilan, wawasan dan pengalaman supervisi yang diperoleh dari sekolah binaan supervisor.

Strategi supervisi yang hendak dibangun adalah kolaborasi antara model pembimbingan dan dialog dengan model supervisi direktif yang umumnya berupa pengarahan langsung atau perintah-perintah. Supervisor mendengarkan secara langsung kebutuhan dan keluhan para guru, kemudian dari berbagai persoalan yang muncul dapat diupayakan solusinya secara bersama-sama.

Supervisi yang memadukan antara model pembimbingan dengan supervisi direktif dipandang telah sesuai dengan pendekatan supervisi kolaboratif. Pada dasarnya pendekatan supervisi kolaboratif terdiri dari pendekatan direktif dan non direktif yang kemudian digabung menjadi sebuah pendekatan baru yang bernuansa humanis dimana menempatkan supervisor (pengawas dan kepala sekolah) dan supervisee (guru) dalam suatu pola kerjasama yang efektif sehingga terbina suasana yang lebih akrab dan harmonis diantara seluruh komponen satuan pendidikan.

 

Tanya-Jawab Supervisi Pendidikan (1)

T : Bagaimana pendapat pengawas dan kepala sekolah mengenai objek supervisi apabila dilakukan secara kolaborasi, apakah mulai mensupervisi perencanaan, kemudian pelaksanaan dan evaluasi atau tidak perlu supervisi perencanaan?

J : Dalam kajian supervisi kolaboratif, perilaku supervisi yang menonjol dari seorang supervisor dan sudah semestinya menjadi bagian dari karakter diri adalah “presenting, problem solving, and negotiating”. Secara teknis ketiga karakter tersebut dapat dijabarkan ke dalam tindakan: menyajikan, menjelaskan, memecahkan masalah, dan negosiasi.

Menurut pandangan pendekatan psikologi kognitif, esensi belajar adalah perpaduan antara kegiatan individu dengan lingkungan yang pada gilirannya akan berpengaruh dalam pembentukan aktivitas individu. Untuk mencapai prinsip tersebut, hendaknya objek supervisi diupayakan secara  holistik menyentuh setiap unsur yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan dan seluruh sendi aktivitas pembelajaran. Terkait hal tersebut, Tim Pakar Manajemen Pendidikan mengungkapkan bahwa secara umum proses pelaksanaan supervisi dilaksanakan melalui tiga tahapan yaitu perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.

Kegiatan perencanaan pada dasarnya mengacu pada seluruh kegiatan yang bertujuan mengidentifikasi setiap permasalahan, yakni mengidentifikasi aspek-aspek supervisi yang perlu mendapat perhatian. Identifikasi dilaksanakan dengan cara menganalisis kelebihan, kekurangan, peluang, dan ancaman dalam seluruh aspek dan aktivitas pembelajaran dengan tujuan agar supervisi berjalan efektif dan tepat sasaran.

Kegiatan pelaksanaan merupakan kegiatan nyata yang dilakukan untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan dan kapasitas guru, berupa pemberian bantuan maupun asistensi supervisor kepada guru. Agar dalam implementasi kegiatan ini dapat berjalan efektif dan sesuai harapan, maka supervisor hendaknya mengupayakan pelaksanaan supervisi selalu berpegang pada perencanaan dan tujuan awal supervisi itu sendiri.

Supervisi tidak berhenti pada tataran pelaksanaan saja melainkan perlu adanya follow up untuk melihat keberhasilan proses dan hasil pelaksanaan supervisi. Tindak lanjut tersebut dapat berupa evaluasi kegiatan supervisi guna mengevaluasi, menelaah dan mempelajari faktor keberhasilan maupun kegagalan proses dan hasil pelaksanaan supervisi yang kesemuanya dilakukan secara kolaboratif dan komprehensif.

Ketiga tahapan di atas saling berhubungan erat satu sama lain. Tanpa perencanaan yang baik dan terarah, pelaksanaan supervisi dikhawatirkan akan berjalan tanpa pedoman yang jelas. Di sisi lain, kita tidak dapat menelaah secara tuntas tingkat keberhasilan proses maupun outcome supervisi apabila dalam kegiatan supervisi tidak menyertakan evaluasi terhadap kegiatan yang sudah diprogramkan. Dengan demikian, pendekatan kolaboratif yang bersifat holistik dan komprehensif sudah semestinya mampu menampilkan model supervisi secara bertahap dan menyeluruh yang dimulai dari kegiatan perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi.

Sebelum memulai kegiatan supervisi, pengawas dan kepala sekolah telah merumuskan visi/misi, konsep dan strategi yang sinkron, dan model supervisi yang menjadi keinginan dan harapan bersama. Kedua pihak secara terbuka dan transparan, merumuskan langkah-langkah supervisi untuk setiap level kegiatan yang dimaksudkan agar terumuskan dengan jelas strategi, instrumen, kriteria dan indikator supervisi dengan berpedoman pada peraturan dan petunjuk yang ada tanpa mengesampingkan dinamika, peluang dan tantangan yang dihadapi.

Sebagai contoh, pada tahap perencanaan, supervisor dan kepala sekolah misalnya menyusun kriteria tentang kelebihan, kekurangan, peluang, dan ancaman kegiatan pembelajaran. Apakah parameter untuk menilai kekurangan dan kelebihan seorang guru dalam mengajar? Hal-hal tersebut di atas dan yang terkait dengannya perlu diperhatikan dengan seksama guna menghindari bias penilaian yang akan mempengaruhi proses pembinaan, pengembangan dan evaluasi kegiatan supervisi. Di sini dituntut kepiawaian kedua pihak dalam bermusyawarah, negosiasi, dan memecahkan masalah (problem solving), dimana ketiga hal tersebut memang telah menjadi tugas utama dan ciri-ciri seorang supervisor.

Adapun yang dimaksud dengan berimbang adalah bahwa dalam setiap kegiatan supervisi kolaboratif, keterlibatan dan kontribusi pengawas dan kepala sekolah didasarkan pada pembagian tugas yang adil dan saling melengkapi satu sama lain. Dengan pembagian wewenang yang berimbang akan memunculkan kesadaran bahwa masing-masing pihak memikul tanggung  jawab yang sama besar sehingga dapat meminimalisasi kecurigaan dan kesalah pahaman yang mungkin terjadi. Pada gilirannya kegiatan supervisi akan semakin menumbuhkan sinergi dan kerjasama yang semakin kuat di antara kedua belah pihak dalam rangka mencapai tujuan bersama.

Dalam teknis pelaksanaan supervisi, aspek-aspek tertentu yang menjadi spesialisasi penilaian oleh supervisor seperti misalnya aspek administratif dan manajemen sekolah, diserahkan penilaiannya kepada pengawas (supervisor). Sedangkan aspek pembinaan guru dan supervisi akademik/klinis, penilaian sebagian besar menjadi tanggung jawab kepala sekolah dalam domain satuan pendidikan yang bersangkutan. Sementara peran supervisor meski agak terbatas dalam aspek ini masih dapat dilakukan melalui kerjasama yang sinergis dan berkelanjutan.